Cerita Betawi, Upacara Bebaritan atau Sedekah Bumi di Bambularangan (Bagian ke-1)

Ilustrasi

BANYAK sekali budaya nenek moyang Betawi yang mulai ditinggalkan oleh keturunannya. Salah satunya adalah upacara Bebaritan atau upacara sedekah bumi yang biasanya dilakukan di atas jembatan beberapa hari setelah hari raya Idul Fitri dan menjelang panen padi.

Upacara ini biasa dilakukan warga yang tinggal di pinggir kali agar tidak diganggu dedemit atau setan penghuni kali. Upacara ini juga biasa dilakukan warga jika ada wabah penyakit yang menyerang kampung mereka.

Dikutip dari blog Mandor Buang, pada era setelah kemerdekaan RI, warga Kampung Bambularangan, Kelurahan Pegadungan dan Cengkareng Barat, serta warga kampung tetangga biasa menggelar upacara Bebaritan agar warga tidak diganggu setan penghuni kali.

Dalam kepercayaan masyarakat Bambularangan, ada beberapa setan yang ditakuti karena kerap 'nempel' ke warga. Biasanya warga yang ketempelan ini akan kesurupan.

Beberapa setan yang cukup dikenal masyarakat sekitar Bambularangan adalah setan Usman kepala buntung, Ki Sirun, Sopiyah, setan gagu, dan setan item. Setiap setan ini memiliki riwayat sendiri yang diketahui warga sekitar.

Seperti cerita setan Usman kepala buntung. Dulunya Usman adalah seorang centeng tuan tanah di Rawa Lele bernama Ceng Kim. Usman tewas dibantai gerombolan garong yang menyatroni rumah Ceng Kim.

Usman dibunuh dengan cara mengenaskan oleh gerombolan perampok yang sangat kejam. Kemudian kepala dan tubuhnya dipisah. Kepalanya dilempar ke kali dan badannya dibuang ke sawah.

Sedangkan Ki Sirun merupakan seorang hansip dari Kampung Kapuk. Sirun tewas tenggelam ketika membuka aliran sungai agar bisa mengaliri sawah di kampungnya. Mayat Sirun ditemukan tersangkut di pintu air Haji Jaheri Kampung Maja.

Lain lagi cerita setan Sopiyah yang mayatnya ditemukan di selokan atau kali kecil anak kali Bambularangan. Kabarnya Sopiyah meninggal dunia karena penyakit ayannya kambuh saat mencuci piring dan tercebur ke selokan.

Untuk mencegah setan-setan penunggu kali itu tidak mengganggu warga kampung maka diselenggarakan upacara bebaritan. Upacara itu biasa dilakukan di kampung Maja dan gedeg wetan (jembatan beton yang dibangun di jaman Belanda) Bambularangan.      

Warga Bambularangan biasa melakukan upacara Bebaritan 2 hari setelah Lebaran dan upacara sedekah bumi tiap Jumat sore saat musim panen padi tiba.

Untuk kue-kue yang disajikan untuk upacara biasanya hasil kumpulan warga sekitar. Ada 2 orang yang ditugaskan untuk mengumpulkan kue-kue dari warga, yakni Ki Enang dan Ki Mangkat.

Dengan memikul keranjang dan kenderon, keduanya akan keliling kampung diiringi suara bedug, rebana, dan kenong yang ditabuh oleh pemuda-pemuda kampung yang mengiringi mereka. Kegiatan mengumpulkan kue dari warga ini biasa disebut Bebodoran.

Pengumpulan kue ini tidak hanya dilakukan kepada warga Bambularangan tapi juga ke tetangga kampung. Biasanya kue yang disumbangkan adalah kue khas lebaran, seperti kembang goyang, simpring, kue putu, kue satu, geplak, dodol, kue cina dan banyak lagi lainnya.

Berbarengan dengan pengumpulan kue itu, warga Bambularangan juga melakukan upacara cuci Gedeg sebelum dilakukan upacara bebaritan. Acara nyuci gedeg ini dipimpin juru kunci gedeg bernama Ki Nausin. 

Begitu kue terkumpul dan gedeg sudah bersih, kue dijejerkan di atas gedeg dengan alas tampah, piring, dan daun pisang. Setelah makanan terjejer rapi, giliran warga kampung yang duduk bersila di hadapan makanan yang berjejer itu.

Kemudian pemimpin upacara yang duduk paling ujung memulai upacara dengan tahlilan dan doa-doa. Setelah doa selesai, masing-masing orang mengambil makanan yang berada di hadapannya dan memakannya bersama-sama. Ada juga kue tujuh rupa yang diceburkan ke dalam kali. 

Upacara ini dipimpin oleh tetua kampung bernama Haji Lihun, disamping kue-kue sisa lebaran, kadang kala panitia juga menyembelih seekor kambing untuk disajikan sebagai lauk makan.

Lain di Bambularangan, lain pula di Kampung Maja. Di kampung tetangga yang terletak di sebelah barat ini, upacara diadakan sangat meriah. Upacara dipusatkan di pintu air Maja yang dibangun oleh pemerintahan kolonial Belanda. 

Seperti juga di Bambularangan, upacara Bebaritan di kampung Maja dimulai dengan permintaan logistik kebutuhan upacara. Bedanya di Kampung Maja yang diminta bukan hanya kue sisa Lebaran, tetapi juga uang. Karena upacara bebaritan di Kampung Maja, juga dipetaskan kesenian wayang kulit semalam suntuk yang disebut ngeruwat. 

Petugas pengumpul dana dan makanan adalah Mandor Saan. Sedangkan pemimpin upacara adalah tetua kampung, Ki Sinan dan Ki Saman. 

Menurut cerita Hajah Ben, istri dari Ki Sinan, jika malam tiba suasana sangat meriah banyak orang datang bukan hanya untuk menyaksikan pertunjukan wayang kulit, tapi juga untuk berjudi. Jenis judi yang dimainkan adalah judi sintir dan judi koprok.

sumber : https://metro.sindonews.com/read/1234146/173/cerita-betawi-upacara-bebaritan-atau-sedekah-bumi-di-bambularangan-bagian-ke-1-1503763030/13
Previous Post
Next Post

0 komentar:

Terima kasih sudah berkunjung, Silahkan Tinggalkan Komentar

Popular Posts