Djiong diperkirakan hidup pada sekitar tahun 1800-1900-an.
Nama pendekar betawi lain yang termasyur adalah Djiong, jagoan Betawi pertama yang menjadi buah bibir, semua itu karena perlawanannya yang konsisten terhadap pemerintah kolonial Belanda (Kompeni).
Djiong, demikianlah yang tertulis pada nisan makamnya, lebih dikenal dengan nama Wak Emong oleh warga kampungnya. Hingga 1950-an, nama besar Djiong, atau Wak Emong masih 'menggetarkan hati' para jagoan di kawasan Kemayoran, khususnya di daerah Kepu dan Bungur.
Djiong diperkirakan hidup pada sekitar tahun 1800-1900-an (menurut cerita, Djiong memang berumur lumayan panjang). Semasa hidup, dia tinggal di daerah yang sekarang adalah Kepu Gang II, 1 km dari kawasan Jiung sekarang. Tetapi, masa tua hingga wafatnya dihabiskan di rumah yang berada di sekitar jembatan Utan Panjang, Kemayoran, Jakarta Pusat.
Djiong wafat sekitar tahun 1900-an dan dimakamkan di daerah Mangga Dua, yang sekarang menjadi mal. Ironis, ketika pembangunan mal tersebut, jenazah Djiong gagal dipindahkan, sehingga sampai detik ini jasad tulang belulangnya masih tertindih di bawah beton mal di Mangga Dua itu.
Di kampung Kwitang, Jakarta Pusat, dekat majelis taklim Habib Ali, juga terdapat seorang jago silat bernama Muhammad Djaelani, yang dikenal dengan nama singkat Mad Djelani.
Dia pernah dihukum seumur hidup oleh Belanda. Sebabnya, sekitar 1940-an ia membunuh seorang konsul Jepang di Batavia, karena disangkanya seorang China kaki tangan Belanda. Ia dibebaskan oleh Barisan Pelopor pada masa revolusi fisik. Salah seorang cucunya, H. Zakaria, mewarisi ilmu silatnya, Mustika Kwitang.
Djiong diperkirakan hidup pada sekitar tahun 1800-1900-an (menurut cerita, Djiong memang berumur lumayan panjang). Semasa hidup, dia tinggal di daerah yang sekarang adalah Kepu Gang II, 1 km dari kawasan Jiung sekarang. Tetapi, masa tua hingga wafatnya dihabiskan di rumah yang berada di sekitar jembatan Utan Panjang, Kemayoran, Jakarta Pusat.
Djiong wafat sekitar tahun 1900-an dan dimakamkan di daerah Mangga Dua, yang sekarang menjadi mal. Ironis, ketika pembangunan mal tersebut, jenazah Djiong gagal dipindahkan, sehingga sampai detik ini jasad tulang belulangnya masih tertindih di bawah beton mal di Mangga Dua itu.
Di kampung Kwitang, Jakarta Pusat, dekat majelis taklim Habib Ali, juga terdapat seorang jago silat bernama Muhammad Djaelani, yang dikenal dengan nama singkat Mad Djelani.
Dia pernah dihukum seumur hidup oleh Belanda. Sebabnya, sekitar 1940-an ia membunuh seorang konsul Jepang di Batavia, karena disangkanya seorang China kaki tangan Belanda. Ia dibebaskan oleh Barisan Pelopor pada masa revolusi fisik. Salah seorang cucunya, H. Zakaria, mewarisi ilmu silatnya, Mustika Kwitang.
Selain laki-laki terdapat pula pendekar silat wanita yang perkasa. Menurut Alwi, ketika terjadi revolusi (perang kemerdekaan) melawan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang datang ke Indonesia, setelah proklamasi 17 Agustus 1945 dengan mendompleng Sekutu (Inggris), rakyat Marunda banyak menjadi korban dalam mempertahankan kemerdekaan.
Mirah, serta kawan-kawan wanitanya, ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan. Karena keberaniannya inilah yang menyebabkan dia diberi gelar singa betina dari Marunda.
Dalam buku Beksi Maen Pukulan Khas Betawi, dua seniman Yahya Andi Saputra dan H. Irwan Syafiie sedikit mengangkat tokoh wanita ini, di samping sejumlah pemain silat lainnya.
Selain Mirah, ada lagi pejuang perempuan Betawi yang juga ahli main pukulan. Dia adalah Nyi Mas Melati dari Tangerang. Di kota sebelah barat Jakarta ini, juga pada revolusi fisik (1945), dia tidak gentar berada di garis depan melawan pasukan NICA.
Seperti juga Mirah, pada saat revolusi sejumlah wanita aktif membantu para pejuang di garis depan, sekali pun hanya sebagai pensuplai makanan dan obat-obatan.
Perkumpulan pencak silat tidak menutup diri pada masalah-masalah sosial. Sejumlah jawara, atau jagoan Betawi ikut terlibat dalam berbagai pemberontakan para petani seperti di Condet, Jakarta Timur (1916), Slipi, Tanah Abang, dan Cakung (1913), serta Tangerang 1924 dan Tambun (1869).
Mereka berontak mencegah pasukan VOC dan tuan tanah jahat yang akan melakukan penyitaan terhadap kediaman para petani karena tidak sanggup membayar belasting (pajak) hasil bumi.
Mirah, serta kawan-kawan wanitanya, ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan. Karena keberaniannya inilah yang menyebabkan dia diberi gelar singa betina dari Marunda.
Dalam buku Beksi Maen Pukulan Khas Betawi, dua seniman Yahya Andi Saputra dan H. Irwan Syafiie sedikit mengangkat tokoh wanita ini, di samping sejumlah pemain silat lainnya.
Selain Mirah, ada lagi pejuang perempuan Betawi yang juga ahli main pukulan. Dia adalah Nyi Mas Melati dari Tangerang. Di kota sebelah barat Jakarta ini, juga pada revolusi fisik (1945), dia tidak gentar berada di garis depan melawan pasukan NICA.
Seperti juga Mirah, pada saat revolusi sejumlah wanita aktif membantu para pejuang di garis depan, sekali pun hanya sebagai pensuplai makanan dan obat-obatan.
Perkumpulan pencak silat tidak menutup diri pada masalah-masalah sosial. Sejumlah jawara, atau jagoan Betawi ikut terlibat dalam berbagai pemberontakan para petani seperti di Condet, Jakarta Timur (1916), Slipi, Tanah Abang, dan Cakung (1913), serta Tangerang 1924 dan Tambun (1869).
Mereka berontak mencegah pasukan VOC dan tuan tanah jahat yang akan melakukan penyitaan terhadap kediaman para petani karena tidak sanggup membayar belasting (pajak) hasil bumi.
sumber : http://metro.news.viva.co.id/
0 komentar:
Terima kasih sudah berkunjung, Silahkan Tinggalkan Komentar