MASIH dalam rangka HUT Jakarta, mari mengenang si Pitung.
Ia mengisahkan cerita yang didengar dari ibunya. Waktu itu, Pitung berada di rumah kakeknya, tuan tanah Tionghoa yang punya tanah luas di daerah pinggiran Jakarta. Walau kakeknya tuan tanah, rupanya Pitung bersahabat dengan kakek Tanu.
Diceritakan Tanu, ibu bersama nenek dan beberapa bibinya di bagian dalam rumah, sedang asyik main congklak. Sedang Pitung mengobrol bersama kakek di depan. Seketika, Pitung masuk ke ruang dalam. Kepada para wanita itu ia berbisik, “Jangan katakan kepada Tuan Hinne bahwa saya ada di sini.” Dengan tenang ia terus masuk ke belakang, ke arah dapur.
Nenek, ibu, dan yang lain segera tahu bahwa schout van Hinne (polisi Belanda yang mendapat tugas menangkap Pitung) menyatroni rumah kakek Tanu. Dari ruang depan terdengar suara van Hinne bertanya. “Tempang (nama kakek) mana Pitung?”
Dengan tenang kakek menjawab, “Pitung? Saya tidak melihatnya.”
“Jangan bohong, Tempang. Saya tahu dia ada di sini. Awas kalau kowe berani sembunyikan dia.”
Tanu bercerita, kakeknya mempersilakan memeriksa sendiri. Van Hinne masuk rumah diiringi beberapa bawahannya. Seluruh rumah digeledah, termasuk kamar-kamar, kolong tempat tidur, sudut-sudut yang tersembunyi. Dapur dan halaman belakang rumah juga tak luput dicek. Si Pitung tak ditemukan di rumah itu.
Sebelum pulang, van Hinne mengancam, “Awas, Tempang! Saya tangkap kowe, kalau berani sembuyikan Pitung!”
***
Pitung dipercaya memiliki sejumlah ajian sakti selain jago maen pukul
alias berkelahi. Konon, ia memiliki ajian Rawa Rontek (ajian yang
membuat dirinya kembali bugar dan hidup lagi selama menyentuh tanah,
meski sudah meninggal atau sekarat); ajian Halimunan (ajian yang membuat
kehadirannya seolah tak tampak oleh orang lain alias menghilang); dan
ajian Pancasona (ajian yang membuatnya kebal).
“Ketiga ajian itu diperoleh Pitung ketika belajar maen pukul dan
agama pada Haji Naipin di Pondok Pesantren Menes, Kampung Rawa Bebek,
Banten,” kata Umar Salbini, seorang pekerja seni Betawi yang diwawancara
Windoro Adi untuk bukunya, Batavia 1740: Menyisir Jejak Betawi (2010).Bisa jadi, Pitung menerapkan ilmu ajian Halimunan hingga sosoknya tak kelihatan kumpeni. Namun, menurut ibunda Tanu TRH, Pitung “dengan tubuhnya yang kecil, sangat pandai menyembunyikan diri, dan bisa menyelinap di sudut-sudut yang terlalu sempit bagi orang lain.”
Memangnya, seperti apa sosok Pitung? Sang bunda menuturkan, Pitung “perawakannya kecil. Tingginya kira-kira sekian,” sang bunda menjelaskan mengangkat sebelah tangannya. Tampang si Pitung sama sekali tak menarik perhatian khalayak. Sikapnya pun tidak seperti jagoan. Kulit wajahnya agak kehitam-hitaman dengan ciri khas: sepasang cambang panjang tipis dengan ujung melingkar ke depan.
Sosok si Pitung yang berperawakan kecil agak bertentangan dengan gambaran Pitung yang kita kenal selama ini. Pitung digambarkan sebagai pahlawan yang gagah. Pemuda bertubuh besar, kuat, lagi keren. Pitung bertampang keren muncul dalam film-film soal Pitung mulai dari zaman Belanda hingga Dicky Zulkarnaen di tahun 1970-an.
Pada satu bagian novel Rumah Kaca (buku keempat tetralogi Pulau Buru) Pramoedya Ananta Toer melukiskan Pitung berkumis dan berjenggot jarang, berkulit langsat, tidak tinggi, berbadan gempal. Setiap melakukan penyerangan, ia berjubah putih, bersorban, pada kiri dan kanannya berjalan dua pembantunya mengapit membawakan tempat sirih dan senjatanya. (Rumah Kaca, edisi 2002, hal. 58)
***
Wajar
saja bila tak ditemukan keseragaman atas sosok Pitung. Sosok ini memang
sulit dicari kebenaran sejarahnya. Kata Windoro Adi, dari mulut ke
mulut riwayat Pitung berubah. Kebenaran sejarah kemudian jadi tak
penting lagi. Yang utama, bagi masyarakat Betawi, mengabadikan
keberpihakan Pitung pada kaum miskin yang tertindas. Budayawan Betawi
Ridwan Saidi dikutip Windoro, malah mengartikannya sebagai cara
masyarakat asli Betawi yang mulai terpinggirkan di era 1970-an dengan
menghadirkan sosok pahlawan Betawi. Berdasarkan tulisan Jali Jengki, yang dikutip Windoro, Pitung lahir di Pos Pengumben, Sukabumi Ilir, Rawa Belong, Jakarta Barat tahun 1864. Pitung adalah bungsu dari 4 bersaudara pasangan Piun-Pinah. Piun berasal dari Cikoneng, Banten, sedang Pinah dari desa Singapura, Kecamatan Celancang, Cirebon Utara. Pinah memounyai adik bernama Ji’ih yang tinggal di Kemandoran, Rawa Belong. Di kemudian hari, Pitung dan Ji’ih jadi sepasang jagoan yang tak terpisahkan.
Pitung tumbuh di daerah Rawa Belong yang dikenal sebagai arena para jagoan mengadu dan mengembangkan ilmu maen pukul. Saat remaja, ia belajar tarekat di Pecenongan pada Sapirin bin Usman bin Fadli. Ia kemudian belajar silat Cimande Sera pada Haji Naipin.
Usai berguru, Pitung kembali ke rumah orangtuanya dan bekerja sebagai penunduh (penebas buah-buahan milik warga). Hasilnya ia jual ke pasar Rawa Belong.
Aksi si Pitung dimulai saat sepulang dari psar Tanah Abang, Jakarta Pusat, uang hasil penjualan kambing yang dibawa Pitung dirampas kelompok Daeng Marais alias Rais, Jawara Legoa berdarah Bugis. Pitung, dibantu Ji’ih melawan dan mengalahkan Rais dan keempat kawannya.
Kemudian, setelah Pitung dan Ji’ih mengalahkan Rais dan keempat kawannya, Pitung diminta memimpin mereka. Ketujuh pemuda ini kemudian bertukar ketrampilan beladiri. Selain Pitung, Ji’ih, dan Rais, mereka adalah: Abdulrahman peranakan Arab (dari Yaman Selatan) asal Krekot, Mat Jebul marbut di Cawang, Jakarta Timur, Tocang Gering peranakan Tionghoa asal Kampung Dadap, Tangerang, serta Mujeran pemuda Depok murid Haji Majid yang juga kawan Haji Naipin, guru Pitung dan Ji’ih.
Nah, dari sini, muncul anggapan Pitung sebetulnya bukan nama asli. Si Pitung bukanlah nama orang, tapi nama kelompok, yaitu kelompok tujuh. Dalam bahasa Jawa Cirebon-Banten, pitung berarti “pitungan” atau “bertujuh”. Pemimpin mereka adalah Salihun, anak pasangan Piun-Pinah. Salihun inilah yang kemudian lebih dikenal sebagai si Pitung. Meski begitu, dalam setiap aksinya, setiap anggota kelompok tujuh mengaku bernama Pitung.
Surat kabar Hindia Olanda dan harian Lokomotief, yang dikutip Margaret van Till, mencatat aksi kelompok Pitung berlangsung selama 16 bulan, dari tanggal 26 Juni 1892 sampai 19 Oktober 1893. Laporan pertama soal Pitung di koran Hindia Olanda menyebut Pitung dengan berbagai ejaan. Awalnya Pitiung disebut sebagai “Bitoeng”, kali lain “Pitang” dan belakangan terus disebut “Pitoeng.” Koran HindiaOlanda edisi 18 Juli 1892 menyebutkan schout Tanah Abang menggeledah rumah “seorang Bitoeng” di desa Sukabumi, wilayah selatan Batavia. Kata “seorang Bitoeng” menunjukkan kalau Pitung adalah komplotan, bukan nama seseorang.
Aksi Pitung membuat kompeni kerepotan. Pemerintah Hindia Belanda kemudian membuat sayembara, barang siapa bisa menyerahkan Salihun alias si Pitung bakal dihadiahi 400 gulden.
Kelompok Pitung kemudian menyingkir ke Marubda, Cilincing, Jakarta Utara. Di sana, mereka merampok rumah pangung milik tuan tanah asal Bugis, Haji Safiuddin. Nah, rumah tuan tanah ini yang kemudian dikenal sebagai rumah si Pitung dan membuat salah kaprah kalau sang jagoan Betawi itu berasal dari Marunda.
***
Di
rumah panggung itu Pitung dan kawan-kawannya tinggal sementara. Pada
masa persembunyian, Pitung jatuh hati pada Aisyah, gadis Kali Baru,
putri seorang guru silat, Abdul Halim. Pada ayah Aisyah ini, Pitung
belajar silat Syahbandar.
Komplotan si Pitung mulai cerai berai di
akhir 1893. Ada yang tewas, ada yang berhasil lolos. Pada Oktober 1893,
van Hinne mengendus jejak Salihun di Kota Bambu, Tomang. Salihun lari
ke pamakaman Tanah Abang. Van Hinne terus menembakinya hingga ia
tersungkur. Salihun tewas Sabtu, 17 Oktober 1893, pada usia 29 tahun.
Hari berikutnya, Minggu, pukul 17.00, ia dimakamkan di Kampung Baru.
Versi lain menyebutkan, ia dimakamkan di Jalan Kemuning, Kota Bambu,
Tomang, Jakarta Barat. Ada pula yang menyebut makamnya ada di bawah
rerimbunan pohon bamboo di Jalan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, di
depan kantor Telkom. Ada juga yang menyebut Pitung dimakamkan di hutan
Jatijajar, Tapos, Depok.
Banyak yang percaya, Pitung sejatinya kebal. Yang bisa menewaskannya
hanya peluru emas. Pitung juga dipercaya bisa bangkit lagi setelah mati.Dalam salah satu rancak (pantun) Betawi tentang kematian Pitung menyebut kuburan Pitung dijaga pagi-siang-malam. “Kabarnya jago Pitung, dalam kuburan idup lagi” tapi setelah digali karena penasaran “Dilongok dikeker, bangkenye masi ade.”
Untuk merayakan kemenangannya van Hinne menggelar pesta besar “tuju ari tuju malem.”
***
Pasca kematian Salihun alias Pitung maupun komplotannya, perlawanan masyarakat Betawi tak surut.Seperti dicatat Pramoedya di Rumah Kaca, sisa-sisa gerombolan si Pitung terdapat di Cibinong, Cibarusa, dan Cileungsi, masih dalam kawasan Betawi dan Buitenzorg (Bogor). Polisi Hindia Belanda berhasil menangkap 300 perusuh. Di antara mereka, 8 orang pemimpin gerombolan kebal peluru.
Betul kata pepatah, mati satu pahlawan, tumbuh seribu penggantinya.***
0 komentar:
Terima kasih sudah berkunjung, Silahkan Tinggalkan Komentar